JAM

Rabu, 16 Maret 2011

menjadi seorang guru

MENGAPA KITA MEMILIH MENJADI SEORANG GURU?
Bagi Anda yang memiliki visi dan cita-cita yang tinggi tentu Anda merasakan apa yang sedang Anda geluti saat ini. Pasti Anda tahu apa yang insya Allah terjadi dengan kontribusi Anda di bidang ini. Anda saat ini sedang meniti jalan yang teramat mulia, yaitu menjadi seorang guru.
Menjadi seorang guru bukan karena kebetulan atau keterpaksaan juga bukan karena butuh pekerjaan sambilan untuk menjadi batu loncatan karir dan prestise. Namun camkan dengan baik, menjadi guru adalah pilihan, menjadi guru adalah panggilan nurani, menjadi guru adalah jalan hidup, menjadi guru adalah persemaian cita-cita, dan bahkan menjadi guru merupakan pengabdian yang tulus untuk sebuah cita-cita besar.
Munculnya manusia-manusia yang bercita-cita besar dan mewujudkan cita-cita besar itu tidak lepas dari inspirasi para guru. Gurulah yang setiap hari menanamkan nilai-nilai kepada diri murid, gurulah yang setiap hari mengisi rongga jiwa yang masih kosong dengan cita-cita dan harapannya. Dengan perantaraan guru pulalah tidak terbilang anak yang bangkit dari keterbelakangannya untuk meraih cita-citanya.
Berikut ini, saya hadirkan sebuah penggalan cerita dari seorang anak yang kesehariannya bergelut dengan kepapaan dan bersusah payah berjuang agar tetap bisa sekolah hingga mencapai cita-citanya. Cerita seorang anak ini sebagai ilustrasi dedikasi seorang guru yang mampu menghidupkan jiwa yang hampir putus asa.

Seorang anak yang dari umur 7 tahun telah ditinggalkan oleh ayahnya yang tercinta. Ayahnya seorang petani sedangkan ibunya tidak memiliki pekerjaan. Sepeninggal ayahnya, praktis kehidupan keluarga ditanggung oleh ibunya yang sudah tua. Jangankan untuk sekolah, makan untuk sehari-hari pun tidak cukup. Usia 7 tahun menuntutnya untuk bisa sekolah seperti halnya anak-anak yang lain.
“Ibu, aku ingin sekolah” demikian yang disampaikan si anak kepada ibunya. “tapi, aku tidak sanggup menyekolahkanmu”. “aku tidak sanggup membelikanmu seragam, sepatu, buku. Sekolah itu mahal Nak!” Mendengar penjelasan ibunya si anak itu diam. Keesokan harinya tanpa sepengetahuan ibunya dia pergi ke sekolah dengan tidak berseragam, tidak pula memakai alas kaki. Sesampainya di sekolah dia menemui seorang guru, “Bapak, aku ingin sekolah”, tentu saja bapak guru tersebut kaget melihat anak yang berada dihadapannya tidak seperti layaknya anak sekolah. “Nak, benar kamu mau sekolah? Apakah kamu sudah mendaftar ke kepala sekolah? “Belum Pak” jawab anak itu. “Sini saya antar kamu ke Bapak kepala sekolah”. Sejak pertemuannya dengan kepala sekolah anak itu pun secara resmi menjadi salah satu murid di sekolah itu. Kepala sekolah ternyata terkesan dengan kepribadian anak itu, apalagi setelah mengetahui latar belakang keluarganya. Selain bertemu di ruang kelas karena kepala sekolah tersebut juga mengajar pelajaran matematika, juga sering mengundang si anak ini ke rumahnya membantu menggarap kebun yang ada di depan rumahnya. Dalam setiap kesempatan sang guru menanamkan nilai-nilai kemandirian, kerja keras, kesederhanaan, dan bercita-cita tinggi. Dia akhirnya menjalani masa sekolahnya dengan berbekal nilai-nilai yang ditanamkan oleh sang guru. Dia tidak pernah berputus asa, tidak juga merasa lebih rendah dari anak yang berkecukupan, meskipun seragam yang dia gunakan adalah seragam satu-satunya yang dihadiahkan oleh gurunya sang kepala sekolah ketika menjadi ranking 3 pada saat duduk di bangku kelas 3 SD. Tiba saatnya penentuan kelulusan SD dan dari deretan nama yang terpasang di papan pengumuman dia termasuk murid yang dinyatakan lulus dengan nilai tertinggi se wilayah IV. Selain meraih piala Dikbud, uang tunai, dia juga diarak keliling desa dengan menunggangi kuda pilihan.
Cerita diatas merupakan salah satu potret dari sekian banyak anak yang dengan melalui polesan keikhlasan seorang guru menghantarkannya keluar dari problematika keluarga menuju pencapaian impian. Mimpi untuk bisa mengeyam pendidikan.
Penulis pun mempunyai pengalaman yang sangat berharga dan teramat mahal tentang ketulusan seorang guru dalam membimbing siswanya. Dimasa SMA, tepatnya di kelas tiga. Pada umumnya siswa kelas tiga sudah mulai mempersiapkan diri untuk bisa lulus UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Mereka di waktu pagi belajar di kelas dan di sore hari hingga malam mengikuti bimbingan belajar. Selain belajar, para siswa juga dibantu oleh orang tua mereka untuk memburu informasi perguruan tinggi. Namun berbeda dengan yang penulis alami dan beberapa teman, akses informasi, kesempatan untuk ikut bimbingan belajar tidak semudah dengan yang diperoleh oleh teman-teman. Sekadar menyampaikan keinginan lanjut ke perguruan tinggi saja terasa berat bercampur malu, padahal keinginan untuk lanjut sungguh melebihi keinginan teman-teman. Tapi harus bagaimana biaya kuliah terlalu mahal untuk ukuran penulis lain lagi dengan biaya hidup sehari-hari. Hanya do’a selalu penulis haturkan kepada yang Maha Pemberi kemudahan semoga dimudahkan dalam urusan ….
Kegiatan belajar di kelas tidak pernah saya tinggalkan. Saya khawatir kalau ada satu materi pelajaran yang saya tidak ikuti. Apalagi hanya belajar di kelas menjadi satu-satunya sarana bagi saya untuk mempersiapkan mengikuti EBTANAS. Semua guru mengajar dengan metode masing-masing, ada yang ceramah dari awal sampai akhir ada juga yang langsung praktik. Namun saya terkesan dengan metode mengajar salah seorang guru saya. Dia pengajar biologi namanya Pak Ajrun, S.Pd. setiap jam mengajarnya anak-anak selalu menanti-nantinya. Bahkan jika dia tidak masuk, para siswa kelas tiga jurusan IPA beramai-ramai mencarinya.
Apa yang menjadi daya tarik metode mengajar Pak Ajrun?
Perhatikan satu penggalan nasihat Pak Ajrun dalam proses pembelajaran. “Anak-anak sekalian, kalian adalah harapan kami, harapan orang tua. Orang tua kalian sudah berkorban untuk menyekolahkan kalian, berangkat pagi ke sawah pulang petang bahkan malam, semua itu dilakukan untuk keberlangsungan sekolah kalian. Kalian tidak tahu, kadang biaya untuk berobat diberikan kepada kalian meskipun sakit yang ditanggung. Sekali lagi untuk masa depan kalian” Nasihat Pak Ajrun seperti ini terkadang disampaiakn di awal pembelajaran, kadang di tengah pembelajaran, dan kadang diakhir. Nasihat-nasihatnya begitu kuat menghunjam mengalir menyetrumi semangat anak-anak.
Perhatikan metode Pak Ajrun yang lain. Suatu ketika kelas tiga IPA diremehkan oleh salah seorang guru dan disampaikan dihadapan para siswa, kemudian guru tersebut menyebarkan kepada semua guru, penyebabnya adalah karena siswa kelas tiga IPA tidak mau membayar uang pungutan dari pihak sekolah. Siswa tidak mau membayar karena tidak tahu uang itu digunakan untuk apa padahal mereka secara rutin membayar SPP dan BP3. Mengetahui nama baik kelas tiga IPA dicemarkan, mereka pun beramai-ramai mendatangi kantor kepala sekolah untuk mengklarifikasi berita pencemaran yang berkembang. Kepala sekolah tidak menerima masukan siswa, justru kepala sekolah membenarkan tindakan guru. Maklum guru tersebut merupakan orang yang paling dekat dengan kepala sekolah dan juga menjabat sebagai wakil kepala sekolah. Betapa kesalnya siswa kelas tiga IPA karena tidak ada tempat untuk mengadukan problem kelasnya. Kepala sekolah yang diharapkan juga tidak memberi solusi. Apalagi guru-guru yang lain yang lebih suka diam dari pada harus menanggung resiko jika berbeda pendapat dengan kepala sekolah.
Pak Ajrun pagi itu mengajar di kelas tiga IPA pada jam ke tiga. Pak Ajrun seperti kebiasaannya sebelum memulai pelajaran selalu menyapa anak-anak, menayakan keadaan anak, dan menyampaikan nasihat-nasihat yang singkat. Pak Ajrun seakan tidak mengetahui masalah yang dialami oleh kelas yang sedang diajar. Namun diantara anak ada yang nyeletuk menyampaikan masalah mereka. “Pak!” Sambil mengacungkan tangan, “kami tidak terima perlakuan Pak Rais, masa kami dianggap tidak patuh pada aturan, dianggap kelas paling bandel, kelas yang suka membangkang. Padahal yang kami lakukan untuk mengetahui dana yang dipungut wakil kepala sekolah itu digunakan untuk apa?, tidak lebih dari itu!, ya, kalau misalnya dana itu diperuntukkan untuk kepentingan sekolah kami juga pasti bayar meski pun diantara kami ada yang tidak mampu.
Pak Ajrun tidak langsung menjawab, dia diam sambil mengarahkan pandangannya ke siswa yang baru saja selesai menyampaikan masalah kelasnya. Tatapan seorang guru yang bersahaja, sederhana, dan sangat bersahabat. Dia sepertinya menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin anak-anak mengetahuinya.
Pak Ajrun dengan suara agak berat menyampaikan kepada anak-anak, “kemungkinan besar pada semester ke dua saya tidak lagi menjadi wali kelas kalian”. Histeris teriakan siswa memecah kesunyian kelas, “tidak!” Bapak harus tetap menjadi wali kelas kami. Bapak harus tetap membimbing kami, tidak Pak!”
“Saya tidak pernah melihat di kelas kalian seperti yang dituduhkan”, lanjut nasihat Pak Ajrun kepada anak-anak. “Justru sebaliknya, kalian telah mengahrumkan nama sekolah ini karena dari kelas tiga IPA-lah selalu menjadi perwakilan sekolah mengikuti lomba siswa teladan tingkat kabupaten dan kita juara I, perwakilan kabupaten siswa teladan tingkat provinsi juga dari kelas IPA, juara piadato tingkat kabupaten juga dari kelas IPA, juara bola volley tingkat kabupaten juga dari kelas tiga IPA. Saya bangga kepada kalian.”
“Atas dasar itulah, saya membela kalian dihadapan musyawarah guru. Atas dasar itulah saya berbeda pendapat dengan Pak Rais dan semua guru, dan atas dasar itulah saya berbeda pendapat dengan kepala sekolah”. Terlihat bola mata Pak Ajrun berkaca-kaca, mengisyaratkan pembelaannya kepada siswa-siswanya. Kelas yang tadinya riuh berubah menjadi hening, isak tangis terdengar dari para siswa pertanda dekatnya mereka dengan wali kelasnya.
“Anak-anak sekalian, karena saya dianggap tidak kooparatif dengan kebijakan kepala sekolah, maka di semester kedua saya tidak lagi menjadi wali kelas kalian.”
Penggalan cerita di atas mengisyaratkan keberpihakan Pak Ajrun kepada siswa-siswanya. Pembelaan yang diberikan kepada siswa pada saat tidak ada lagi guru yang berani membela. Ketika semua guru takut berbeda pendapat dengan kepala sekolah. Takut tidak diberikan jabatan, takut dimutasi. Sedangkan Pak Ajrun tidak demikian. Dia berani membela meski pun dia harus dipecat dari wali kelas.
Dalam berbagai kesempatan Pak Ajrun juga sering mengundang anak walinya ke rumah kontrakannya. Rumahnya kecil hanya terdapat dua kamar; kamar keluarga dan kamar tamu. Kedua kamar tersebut disekat dengan anyaman bambu yang sudah lapuk. Atap seng yang digunakan juga sudah mulai bocor dan sebahagian berkarat. Rumah Pak Ajrun sangat sederhana. Kesederhanaan Pak Ajrun tidak hanya terlihat dari interior rumahnya, tapi juga tergambar dari pola hidunya; pakaiannya, tutur katanya, dan kebersahajaannya. Wajar jika dalam setiap kesempatan kepribadian Pak Ajrun lebih kuat mengilhami karakter para siswa dari pada kekuatan lisannya.
Menjelang EBTANAS, Pak Ajrun semakin sering berkomunikasi dengan anak walinya kelas tiga IPA. Ia berharap agar diantara siswanya lebih banyak yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Pak Ajrun sadar bahwa tidak semua anak walinya punya kemampuan pembiayaan, jangankan perguruan tinggi setingkat SMA pun masih banyak yang menunggak iuran sekolah. Namun guru yang berasal dari Bima ini tidak pernah berputus harapan, selalu saja dia memberikan motivasi, harapan, dan pengalaman pribadinya sewaktu dia menempuh perkuliahan.
“Anak-anak sekalian, saya tahu kuliah itu susah karena kita tidak saja memikirkan biaya kuliah, biaya praktikum, biaya alat tulis, buku-buku, dan sebagainya. Namun kita juga harus hidup, kita harus makan, minum, dan mempunyai tempat tinggal dan semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.” Terang Pak Ajrun kepada anak walinya.
“Akan tetapi, ketahuilah anak-anak sekalian, saya bukanlah orang yang lebih dibanding dengan kalian, saya meninggalkan kampung kelahiran saya Bima tidak membawa apa-apa kecuali ongkos kapal laut, saya tiba di Ujung Pandang belum mempunyai gambaran tentang tempat tinggal, tidak tahu harus nginap dimana saya? Kebetulan saya mempunyai teman se kampung yang lebih dahulu kuliah di IKIP Ujung Pandang dan dialah yang menjemput saya di pelabuhan. Dialah yang mengantar saya ke tempat tinggalnya, ternyata dia tinggal di salah satu Masjid di dekat IKIP. Disanalah saya memulai aktivitas kuliah, saya tinggal bersama teman saya di masjid itu.”
“setelah berjalan beberapa hari, saya mulai mencari kerja yang tidak mengganggu kuliah saya. Sampailah saya di tempat pelelangan ikan. Muncul pikiran saya, bagaimana kalau saya membeli ikan di tempat pelelangan kemudian saya jual ke rumah-rumah warga dengan mengendarai sepeda. Ide ini saya realisasikan, setelah shalat subuh saya mengambil ikan di tempat pelelangan dengan harga yang sangat murah kemudian saya jual ke rumah rumah warga. “ikan-ikan…, ikan cakalan, tembang, layang, oeee….!” Teriakan Pak Ajrun mengusik tidur lelap warga Mariso dan cendra wasih, Begitulah setiap hari saya lakukan, jelas Pak Ajrun.“Alhamdulillah, dari hasil penjualan ikan, saya tabung untuk biaya kuliah. Adapun untuk kebutuhan sehari-hari, saya memperoleh gaji dari mengajar anak-anak membaca Alqur’an di masjid dan juga sebahagian orang tua yang berduit meminta saya supaya mengajari anak-anaknya di rumah.” Terang Pak Ajrun.
“Oleh karena itu anak-anak sekalian, berangkatlah kalian menuntut ilmu, yakinlah kalian kepada pertolongan Allah, jangan pernah kalian terhalangi lantaran persoalan biaya. Pasti Allah akan memberikan jalan keluar.” Ingat! Jangan karena waktu semenit menggugurkan waktu selamanya”.
Nasihat-nasih Pak Ajrun ini mengubah 180 derajat keraguan siswa menjadi keyakinan, termasuk penulis. Tiga puluh siswa kelas tiga IPA meninggalkan Kota Majene menuju kota Ujung Pandang dengan jarak ribuan kilo meter, semua mendaftar di perguruan tinggi terpavorit di Ujung Pandang. Mereka tidak punya bekal, kecuali keyakinan akan pertolongan Allah. Sebuah prestasi sekolah yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
Melalui kisah yang dialami oleh penulis sendiri, betapa terasa dahsyat peranan seorang guru. Yang melalui guru, seorang yang hampir putus asa diubahnya menjadi orang yang penuh keyakinan, orang lemah menjadi kuat, orang yang pesimis menjadi optimis, orang yang kerdil cita-cita menjadi seorang yang pencita-cita besar, tentu atas taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Seorang Susilo Bambang Yudoyono yang sekarang menjadi presiden Republik Indonesia juga sering menyebut ibu gurunya yang pernah mendidik ketika masih duduk di bangku SD Pacitan Jawa Timur. Beliau selalu mengingat pesan-pesannya, petuah, dan bimbingannya. Ia mengatakan tidak akan pernah melupakan jasa gurunya.
Demikian pula kalau kita membaca perjalanan kehidupan pemimpin yang agung dan mulia Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah murabbi pendidik dari empat sahabatnya; Abu Bakar Assiddiq, Umar bin Khottab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Talib. Dari seorang murobbi Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam dan empat murid sekaligus menjadi sahabatnya mampu mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang berperadaban, masyarakat yang tadinya dihinakan diubah menjadi masyarakat yang disegani dan hormati.
Betapa peranan seorang guru begitu besar. Sehingga sering kita mendengar perkataan adanya ulama karena adanya guru, adanya presiden karena adanya guru, adanya jenderal karena adanya guru, adanya dokter karena adanya guru.
Setelah kita mengetahui betapa besar peranan Anda karena Anda salah satu dari sekian banyak guru saat ini. Maka tetaplah di jalur ini, jangan bergeming dengan godaan, janji-janji, apalagi iming-iming. Ketahuilah apa yang Allah amanahkan kepada kita saat ini merupakan kemuliaan yang belum tentu orang lain mendapatkannya. Kita khawatir, apabila Allah sudah menunjukkan kasih sayang-Nya kepada kita, cintanya kepada kita kemudian kita sendiri yang lari dari kasih sayang Allah sedangkan kreta kematian hampir-hampir sampai kepada kita sementara kasih sayang dan cinta Allah sudah terlanjur kita lari darinya. Sekali lagi kita khawatir, Allah tidak memberikan lagi kesempatan untuk mendapatkan rahmat-Nya.
Wallahu ‘alam.

WAWAN CIvic

Tidak ada komentar:

Posting Komentar