JAM

Rabu, 16 Maret 2011

Kehidupan Ilmu Politik (Tugas Ku semester 1, di rangkum dari buku Teori Politik Modern, SP. Varma)

Ilmu politik merupakan salah-satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada. Meskipun beberapa cabang ilmu pengetahuan yang ada telah mencoba melacak asal-usul keberadaannya hingga zaman Yunani kuno, tetapi hasil yang dicapai tidak segemilang apa yang telah dicapai oleh ilmu politik. Sejak sekelompok orang mulai hidup bersama, masalah yang menyangkut pengaturan dan pengawasan mulai muncul dan sejak itulah para pemikir politik mulai membahas masalah-masalah yang menyangkut lingkup serta batasan penerapan kekuasaan, hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah, serta sistem apa yang paling baik menjamin adanya pemenuhan kebutuhan akan pengaturan dan pengawasan, sebagai konsekuensi adanya kebebasan pemikiran manusia. Masalah-masalah ini telah menggelitik pemikiran manusia selama berabad-abad.


Akar-akar behavioralisme dapat dilacak kembali sampai pada konsep “teori system umum”, yang asalnya bisa kita lihat dalam tulisan seorang ahli biologi Ludwig von Bertalanffy pada tahun 1920, meskipun baru setelah Perang Dunia II, sejumlah penulis penting dari berbagai disiplin mulai menulis tentang pentingnya unifikasi ilmu-ilmu yang ada, dan ini merupakan suatu konsep yang berdiri di atas akar teori system umum. pengajur pandangan ini berpendapat bahwa terdapat penggolongan berbagai macam disiplin ilmu yang terlalu kaku, yang menyebabkan berkurangnya interaksi antara berbagai bidang penelitian dan menghalangi kemajuan di setiap bidang yang bersifat khusus. Terdapat kecendrungan dari setiap disiplin ke arah fenomena-fenomena yang bersifat khusus serta penyelidikan-penyelidikan yang rinci dalam masing-masing bidangnya saja, untuk menghindari pertimbangan-pertimbangan teoritis yang bersifat umum dan abstrak. Walaupun dalam perjalanan sejarahnya filsafat politik menempati kedudukan yang penting, tapi tradisi yang memungkinkan lahirnya karya-karya para filsuf yang terkenal boleh dikatakan hampir berakhir. David Easton, Alfred Cobban dan sejumlah penulis kontomporer lainnya berpendapat bahwa teori politik, yang lain lebih bicara tentang posisinya yang terpojok, atau sudah “mati” kata Peter Laslett dan Robert A. Dahl. Bahkan di Oxford, tempat asal teori politik klasik, pertanyaan bahwa teori politik telah mati atau sedang melaju mundur bukanlah barang baru. Untuk mendukung penilaian tersebut mereka menyatakan bahwa sejak Marx dan Mill (dan barangkali juga Laski) kini sudah tidak ada lagi filsuf politik yang menonjol. Dalam menjelaskan gejala tersebut mengemukakan bahwa umumnya gagasan-gagasan politik itu lahir dan berkembang pada saat terjadi perubahan atau pergolakan social. Hal ini terbukti dari kemunculan karya-karya mereka saat itu. Ketika terjadi pergolakan social di Yunani Kuno, ketika terjadi kekacauan sebagai akibat sengketa agama dan politik pada abad ke-16 dan ke-17 di Inggris, dan ketika gagasan-gagasan politik melahirkan revolusi besar itu lahir. Lebih lanjut menegaskan bahwa hal itu kembali berulang ketika pada pertengahan abad ke-20 terjadi perubahan budaya yang mendasar dan konflik social yang meluas di beberapa bagian dunia, meski pada bagian dunia lainnya pemikiran politik itu tidak berkembang secara berarti. Tahun 1951 sekali lagi ia menegaskan bahwa pemikiran politik yang ada saat ini lebih banyak berpijak pada gagasan-gagasan lama, dan sialnya upaya untuk mengembangkan sintesa-sintesa politik  baru amatlah kecil. Parahnya lagi, landasan untuk bisa memunculkan fikiran kreatif tidak dipersilahkan. Melihat kenyataan inilah sejumlah penulis telah mencoba mencari tahu penyebabnya.


Gambaran tentang sifat dan ruang lingkup ilmu politik telah berubah dari waktu ke waktu. Aristoteles yang meletakkan landasan ilmu politik, menggunakan istilah politik dalam pengertian yang cukup luas yang mencakup struktur keluarga, pengawasan budak-budak, morfologi revolusi, tanggapan terhadap demokrasi murni, dan konsep, atau Negara. Politik menurut Aristoteles, meliputi pemerintahan-pemerinatahan dalam negeri, praja dan internasional, patriasi,”kegerejaan”, struktur perdagangan serta serikat pekerja. Batasan ini akan dapat diterima apabila ilmu politik telah menjadi “ilmu tingkat tinggi”’ yakni – seperti yang dijelaskan Aristoteles – sebagai ilmu yang menyumbangkan pengetahuan dan pengertian kepada para pejabat kota sehingga memungkinkan mereka menyerasikan kegiatan-kegiatan masyarakatnya guna mencapai kehidupan yang layak bagi mereka yang memahaminya. Karena Negara terbatas kekuatannya, dan ilmu-ilmu social lain semakin berkembang, maka untuk pengembangan ilmu politik dibutuhkan kerangka konsepsual dan definisi yang lebih cepat.
Setelah Perang Dunia I teori-teori tentang elit, kelompok dan kekuasaan tampaknya telah demikian digandrungi di Amerika. Masing-masing mengklaim dirinya sebagai teori yang paling canggih. Teori elit misalnya menegaskan bahwa ialah yang bersandar pada kenyataan bahwa setiap masyarakat tebagi dalam 2 kategori yang luas yang mencakup: sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah, dan Sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah.
Meskipun pada mulanya teori ini diperuntukkan untuk Eropa Barat dan Tengah sebagi kritik terhadap demokrasi dan sosialisme, tapi oleh sejumlah ilmuwan Amerika ia diserap dengan baik untuk menjelaskan proses-proses politik yang ada di Negara mereka dan negar-negara demokratis lainnya. Konsep dasar teori yang lahir di Eropa ini mengemukakan bahwa di dalam kelompok penguasa (the ruling class) selain ada elit yang berkuasa juga ada elit tandingan, yang  berkuasa kehilangan kemampuannya untuk memerintah. Dalam hal ini, massa memegang sejenis control jarak jauh atas elit yang berkuasa, tetapi karena mereka tak begitu acuh dengan permainan kekuasaan, maka tak bias diharapkan mereka akan menggunakan pengaruhnya. Normal Kalau ada ilmuwan politik saat ini yang telah berhasil menelorkan karya yang luar biasa dalam menyibak dimensi baru dalam penelitian ilmu politik termasuk pengembangan metodenya, perangkat dan peralatannya, itulah Harold D. Lasswell. Ilmuwan yang lahir pada lahir pada tahun 1902 ini adalah satu di antara segelincir ilmuwan politik modern, dan yang paling maju di antara para pengikut Charles Merriam di Universitas Chicago, yang menentang pendekatan yang baru. Selain itu dibandingkan dengan rekan profesi seangkatannya, dia adalah ilmuwan yang paling produktif yang selama paruh abad terakhir telah menghasilkan, baik secara sendiri atau bersama-sama, lebih dari selusin buku yang membahas berbagai aspek ilmu politik.


Analisa system merupakan bagian dari gerakan behavioralis dalam ilmu politik yang berkembang di berbagai universitas Amerika-sebagai reaksi terhadap pendekatan-pendekatan tradisonalisme. Komite ilmu behavioral di Universitas Chicago mulai mengadakan pertemuan reguler pada 1952 dan setiap kelompok teori, yang mencerimnkan perhatian multi disipliner terdiri dari sejumlah sarjana: sejarah, ilmu politik, ekonomi, sosiologi, psikologi, psikologi social, psikiatri, antropologi, kedokteran, neuro-psikologi, matematika, dan biologi; diskusi dimulai dengan sebuah pandangan bagaimana mengilmiahkan ilmu politik. Argument yang dikemukakan para ilmuwan alam dalam pertemuan ini adalah bahwa mereka telah mencapai kemajuan perspektif dan berbagai bidang sebagai hasil Pengembangan Teori-teori Umum, dan mereka menyarankan agar para ilmuwan social harus mencoba mengembangkan berbagai perspektif teoritis umum sendiri. Karenanya, ada perhatian mendalam di kalangan ilmuwan social kenamaan yang tergabung dalam “Komite Ilmu Tingkah-Laku” (Committee on Behavioural Science) Universitas Chicago, tentang propek perumusan teori-teori umum semacam itu. ilmuwan social ini mengakui, sampai sejauh ini ilmu-ilmu social memang masih primitive baik dalam hal metodologi maupun peralatan penelitian. Ketergantungan utama para ilmuwan social pada metode studi kasus, berkibat terbelakangnya konsepsi dan bidang teoritis. Mereka tidak memiliki kosensus tentang sifat, ruang-lingkup, metode ilmu politik dan bahkan yang sama. Persetujuan tentang metode yang cocok dan program penelitian yang sesuai diakui sangat sulit dicapai, guna mengembangkan suatu kerangka teoritis yang sama. Model adalah suatu konsepsi intelektual yang baik, yang dipergunakan untuk menggambarkan situasi social atau fisik. Situasi tadi mungkin nyata atau mungkin juga hipnotis. Dengan dmikian, suatu model merupakan suatu cita-cita yang ingin dicapai atau suatu pola yang akan diikuti. Plato, dengan caranya sendiri, membuat model tentang sebuah Negara yang dicitakan, sedangkan Aristoteles memberi kita model mengenai konstitusi yang akan cocok bagi masyarakat yang berbeda-beda dalam tahap perkembangan yang berbeda-beda pula. Akan tetapi apabila kita memakai istilah tersebut dalam teori politik modern, maka kita berusaha untuk membuang jauh-jauh konotasi-konotasi nilai tersebut. Kita anggap model tersebut sebagai konsepsi intelektual yang sederhana, atau kerangka yang bersifat kaku, yang dapat membantu kita di dalam mengatur alur-alur utama pemikiran kita dan di dalam memberi arah penyelidikan kita. Suatu model mungkin mencakup barbagai macam kategori asumsi, dalil dan konsep sehingga, dengan bantuannya, kita dapat mamisah-misahkan data yang kita himpun selama penyelidikan, menganalisa data yang tersusun rapid an menentukan hubungan antara satu kumpulan data dengan kumpulan data lainnya. Di antara persoalan penting yang telah diidentifikasi para kritis social Barat saat ini adalah persoalan antara suatu masyarakat kapitalis yang sangat terorganisasi dan suatu Negara yang tersentralisasi yang menindas individu atas dasar keseragaman yang ketat. Masyarakat telah menjadi besa, rumit dan sangat terorganisasi, dan basis organisasinya demikian berdayaguna. Manusia semakin dilihat sebagai produser dank arena tujuan organisasi social dalam mana ia melaksanakan peranannya juga demikian luas dan rumit, maka hubungan-hubungan pribadi lalu kehilangan artinya. Dan masyarakat juga reltif terus mengaya. Produksi barangnya sangat besar, namun si kapitalis masih tetap/terus mengeksploitasi situasi sesuai dengan kepentingannya sendiri, sedangkan masyarakat awam selamanya hanya diisi bukan dengan tugas pasti unutk mencoba, melainkan karena khawatir dalam rangka, memperbaiki status ekonominya. Manusia atau individu terpaksa menjadi demikian sibuk dengan upayanya mengejar lapangan pekerjaan, sehingga sulit menyisihkan waktu untuk melihat keadaan dirinya dan memikirkan mutu kehidupannya. Timbulnya sejumlah besar Negara baru di Afrika, dan Amerika Latin dalam gelora Perang Dunia Kedua telah membuka dimensi baru dalam disiplin ilmu poitik. Ahli antropologi, etnografi, sejarah, dan ahli-ahli ketimuran (orientalis) telah melakukan beberapa studi mengenai negeri-negeri itu – meskipun studi mereka hanya mengenai masyarakat, dan bukan mengenai Negara. Ketika beberapa dari masyarakat-masyarakat tua itu mulai berbentuk Negara-negara baru, maka tak dapat dihindarkan perhatian para ilmuwan politik tertarik kepada Negara-negara itu. Ilmu politik Barat pada waktu itu sangat terpengaruh oleh ahli-ahli system yang telah mencoba untuk menunjukkan bahwa system politik adalah, pada umumnya, suatu sub-sistem dari system social, yang menerima tantangan-tantangan maupun dukungan-dukungannya dari system social dalam bentuk masukan dan yang pada gilirannya melahirkan keluaran legislative, eksekutif dan judicial (dalam istilah baru disebut pembuatan peraturan, pelaksanaan peraturan, dan penghakiman peraturan) yang dimasukkan lagi ke dalam system social melalui apa yang disebut sebagai pross umpan-balik (feedback), dan di perkuat atau diperlemah oleh proses tantangan maupun proses dukungan.


Khairunnisa PKN FKIP UNLAM Banjarmasin 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar